Membangun Moral Feeling

Pagi yang basah. Hujan malam minggu kemarin masih menyisakan kelembaban. Genangan air terlihat di beberapa sudut jalan. Tetesan air dari daun-daun yang ditiup angin sesekali menimpa para pemakai jalan yang melintas di kawasan Kota Barat pagi ini. Orang-orang tampak berlalu-lalang, sebagian bersepeda, sebagian lagi berjalan kaki. Hanya sedikit pengendara motor yang melintas. Seperti biasa, minggu pagi adalah waktu bagi warga Solo dan sekitarnya untuk berolahraga atau sekedar jalan-jalan santai. Ada dua tempat favorit bagi mereka, yaitu Car Free Day (di sepanjang jalan Slamet Riyadi) dan Manahan. Kedua tempat tersebut adalah titik paling ramai dikunjungi warga dibandingkan tempat-tempat yang lain.

Kali ini, aku memilih Manahan untuk menghabiskan waktu minggu pagiku. Berjalan kaki sendirian menyusuri kawasan Kota Barat tanpa ditemani kawan-kawanku. Semalam mereka berangkat mendaki Gunung Lawu, sementara aku tak ikut rombongan karena merasa kurang enak badan.
Kota Barat merupakan jalan utama menuju Manahan dari arah selatan kota Solo. Di pinggir jalan memang sudah disediakan tempat bagi para pejalan kaki. Tepat di depan warung Es Teler Kobar, hanya beberapa meter dari tempatku berjalan, sesuatu tiba-tiba terjadi. “Brakkk…!” Suara sepeda motor yang jatuh disusul dengan tubuh pemiliknya yang ikut tersungkur ke kanan jalan. Seorang lelaki paruh baya berbaju putih.

Kejadiannya begitu cepat. Berawal dari sebuah motor matic biru yang melaju dengan cukup kencang, tiba-tiba membelok ke kanan tanpa menyalakan lampu sein. Otomatis motor yang berada tepat di belakangnya tidak siap dengan hal ini, sehingga terjadilah peristiwa itu. Anehnya, pengendara motor matic biru yang sepertinya sepasang suami istri itu terus berlalu dari situ, tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Padahal, sudah jelas kalau kedua motor itu saling bergesekan. Apalagi suara yang ditimbulkan dari kejadian ini cukup keras. Tidak mungkin jika mereka tidak mendengarnya.

Ah, kasihan sekali bapak paruh baya itu. Dua orang pejalan kaki membantunya untuk berdiri. Untung saja lukanya tidak begitu parah, hanya sedikit lecet di beberapa tempat. Memar juga tampak di kedua telapak tangannya. Aku ikut membantu membereskan motornya yang hanya dua langkah dari tempatku berdiri. Raut wajahnya terlihat nrimo dengan kejadian yang ia alami. Kalau saja ia tipe pemarah, mungkin sumpah serapah sudah ia ucapkan. Tetapi nyatanya ia tidak melakukan itu.

Detik berikutnya, aku justru lebih tertarik untuk memperhatikan motor matic biru yang ternyata masih berhenti tidak jauh dari situ. Sepertinya sepasang suami istri yang mengendarainya hendak belok ke kanan, tetapi masih menunggu karena lampu masih menyala merah. Mataku segera beradu dengan mata lelaki itu, si pengendara motor matic biru. Hanya sekilas, ia segera mengalihkan pandangan ke arah lain. Sangat jelas tertangkap oleh mataku, bahwa ia berusaha menyembunyikan sesuatu. Dari raut mukanya terbaca bahwa ia berusaha mengatakan, semua baik-baik saja. Bahwa seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Kualihkan pandanganku ke perempuan berjilbab yang duduk di belakangnya. Hal yang sama juga aku rasakan dari tatapan sekilas perempuan itu.

Mengatakan atau melakukan sesuatu yang benar, itu tidak mudah. Ada orang yang hanya mau melakukan kebaikan ketika ada orang lain berada di dekatnya. Namun ada juga orang yang benar-benar tanpa pamrih mau melakukan kebaikan, entah itu diketahui orang lain atau tidak. Namun yang “parah” adalah, ketika ada orang yang jelas-jelas berbuat salah, apalagi terjadi di muka umum, pihak yang bersangkutan justru bersikap acuh tak acuh, tak ada sedikit pun rasa peduli.

Entah mengapa aku jadi tertarik untuk mengaitkan hal ini dengan moral, yang saat ini masih saja menjadi “barang mahal.” Bahwasanya moral manusia itu terbagi menjadi dua sisi, Moral Knowing dan Moral Feeling. Moral knowing baru menyentuh aspek moral dari sisi pengetahuan saja. Moral Feeling atau Moral Loving merupakan penguatan aspek emosi seseorang untuk menjadi manusia yang berkarakter.  Miftahul Jinan dalam bukunya Aku Wariskan Moral Bagi Anakku menyinggung juga tentang ini. Bahwa penguatan dalam Moral Feeling berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh seseorang, yaitu kesadaran akan jati diri, percaya diri, kepekaan terhadap derita orang lain, cinta kebenaran, pengendalian diri, dan kerendahan hati.

Moral Feeling memang pendidikan moral yang paling sulit untuk dibangun karena menyangkut wilayah emosi, baik kontrol internal maupun pro-sosial. Kontrol internal berkaitan dengan adanya perasaan bersalah dan malu. Kontrol ini akan mencegah seseorang dari perilaku buruk dan mendorong untuk selalu berkeinginan memperbaiki diri. Pro-sosial berkaitan dengan emosi yang timbul karena melihat kesulitan atau penderitaan orang lain. Ini yang biasa disebut dengan rasa empati dan simpati.

Barangkali, lelaki pengendara motor matic biru tadi adalah salah satu contoh pihak yang baru mampu memahami moral dari sisi Moral Knowingnya saja. Barangkali, ia memiliki perasaan bersalah, namun malu atau takut untuk mengakuinya. Barangkali, ia tahu penderitaan orang lain, namun rasa empati dan simpati belum mengetuk hatinya. Atau barangkali, baik ia maupun kita semua, membutuhkan perjuangan batin yang cukup lama demi membangun kontrol internal dan pro-sosial.


Di tulis oleh Dian Uswatun Hasanah, S.Pd., M. Pd.
Dosen Tadris Bahasa Indonesia IAIN Surakarta
(Dimuat di Majalah Hadila edisi 106, April 2016, disetir di sana-sini untuk keperluan penyuntingan).

Belum ada Komentar untuk "Membangun Moral Feeling"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel